Pohon pinang rata-rata memiliki tinggi 6 sampai 8 meter. Saking tingginya, sekelompok orang yang ikut dalam permainan ini akhirnya harus bersatu untuk bisa menggapai hadiah di ujung pohon. Namun sejatinya, dulu ketika permainan ini pertama hadir, dibuat bukan untuk mengasah kerja sama antar-anggota tim, melainkan dibuat untuk kemenangan individu.
Hal ini diungkap oleh Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, saat dihubungi Uzone.id, Rabu, 12 Agustus 2020. Menurutnya, pada masa awal permainan ini terkenal, permainannya mengharuskan seluruh peserta untuk masing-masing berlomba lebih dulu berada di atas pucuk pinang.
Dengan menyanyikan lagu tersebut, jiwa nasionalis kita seakan mendidih kembali. Meskipun, bangsa slot bet Indonesia selalu mendapat cobaan berat dari dalam maupun dari luar negeri, tetap kita tak boleh berhenti memperjuangkan kemerdekaan sampai Indonesia benar-benar merdeka hingga 100 persen.
Dalam merayakan 17 Agustus, rakyat Indonesia punya beragam kesenian, baik itu panggung musik macam perlombaan mulai tarik tambang, balap kerupuk hingga panjat pinang; dan tidak kalah serunya membuat gapura di setiap pintu masuk jalan atau gang di permukiman warga.
Meskipun perayaan dengan membuat gapura semakin berkurang, namun lihat saja daerah-daerah di Indonesia yang masih antusias membuat gapura-gapura mewah dengan berbagai macam bentuk dan material. Ada yang membuat gapura pakai bahan alam seperti bambu, ada juga membuat gapura dari bahan daur ulang plastik botol.
Hal ini diungkap oleh Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, saat dihubungi Uzone.id, Rabu, 12 Agustus 2020. Menurutnya, pada masa awal permainan ini terkenal, permainannya mengharuskan seluruh peserta untuk masing-masing berlomba lebih dulu berada di atas pucuk pinang.
Sekimoto juga menulis, di antara usaha mobilisasi yang paling menonjol adalah menghias tiap-tiap desa dengan membangun pagar beton, membentuk gapura yang penuh hiasan, dan merancang beragam seragam.
Berbeda dengan pendapat sejarawan dan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, saat diwawancara Uzone.id menjelaskan kalau gapura sebetulnya berasal dari abad abad 12 di Indonesia.
Ridwan mengatakan, Betawi sendiri memiliki arti yang sama dengan gapura. Betawi, kata Ridwan, berasal dari Bahasa Armenia yang berarti gapura.
“Karena di Kapuk Muara, dulu kan pelabuhan di Muara Angke seberang-menyebrang dengan Kapuk Muara. Di situ ada gapura tempat hunian orang-orang asli, maka orang-orang muara angke yang kebanyakan pedagang yang bisnis di situ dari berbagai dunia, ada bangsa Kaukasia nyebut gerbang itu Betawi,” terang Ridwan.
Abad 12 mulai muncul gapura di wilayah DKI Jakarta ketika di jaman tersebut Pelabuhan Sunda Kelapa sudah menjadi pelabuhan komersil.
Namun, Ridwan mengaku tak tahu persis kapan gapura mulai dipakai untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia. Setahu dia, rakyat Indonesia sendiri yang awalnya berinisiatif membuat gapura saat perayaan Kemerdekaan.
Nah, kalau melihat penjelasan gapura dalam Wikipedia, gapura merupakan suatu struktur yang merupakan pintu masuk atau gerbang ke suatu kawasan atau kawasan. Gapura sering dijumpai di pura dan tempat suci Hindu, karena gapura merupakan unsur penting dalam arsitektur Hindu.
Gapura juga sering diartikan sebagai pintu gerbang. Dalam bidang arsitektur gapura sering disebut dengan entrance, tetapi entrance itu sendiri tidak bisa diartikan sebagai gapura. Simbol yang dimaksudkan disini bisa juga diartikan sebuah ikon suatu wilayah atau area.
Secara hierarki sebuah gapura bisa disebut sebagai ikon karena gapura itu sendiri lebih sering menjadi komponen pertama yang dilihat ketika kita memasuki suatu wilayah.
Sutanandika, S2 Sastra Sunda di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), yang kini mengajar di SMA 1 Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menjelaskan jika gapura dalam Bahasa Sunda diartikan juga dengan lawang.
“Menariknya, secara Tomopini (ilmu mengenai asal-muasal nama suatu tempat) kata lawang digunakan lebih banyak dibandingkan gapura. Di Bogor dikenal dua daerah dengan nama Lawang Saketeng dan Lawang Gintung. Menariknya, nama-nama daerah itu menggunakan lawang dan lawang saketing yang bisa ditemukan juga di Bandung, Cirebon, Majalengka dan Surabaya,” kata pria yang membuat tesis berjudul “Hukum Adat Kasepuhan Ciptagelar : Pola Rasionalitas dina Nanjeurkeun Ketahanan Pangan” ini.